Cerpen Nikah

Cerpen Nikah




Cerpen Karangan: Diana Fitri Wulandari
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Kehidupan

Lolos moderasi pada: 14 July 2021

Sopiyan adalah lelaki berusia 22 tahun, rumahnya di sebuah desa terpencil yang teletak di sudut Ibu Kota. Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang kerap ia panggil dengan sebutan “Simbok”. Ayahnya sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini pada saat Sopiyan berumur 5 tahun. Walaupun tergolong orang yang sabar, tetapi laki-laki berkulit sawo matang ini sebenarnya tidak sesabar yang selama ini orang-orang kira. Sebenarnya ia ingin sekali menikah. Selain terpaut karena usia, juga karena ia sudah sangat sering menyaksikan teman-temannya menikah dan menjadi keluarga yang berbahagia. Ia tidak tahu bahwa orang menikah tampak bahagia jika dilihat dari luarnya saja, kalu melihat lebih dalam pastilah banyak rintangan keluarga yang akan dihadapinya.

Read More

Pagi itu Sopiyan hendak pergi ke pasar mengantarkan Simbok untuk berbelanja kebutuhan pangan. Pada saat mereka duduk di sebuah tempat peristirahatan, Sopiyan membuka percakapan dnegan Simboknya.

“Simbok, aku ingin dinikahkan,” ujarnya sembari memasang wajah melas.
“Menikah sama siapa toh le?” tanya Simbok dengan lembut.
“Sama siapa saja boleh mbok, yang penting ada nyawanya,” jawab Sopiyan pasrah.
Simbok hanya menggeleng-gelengkan kepala, pikirnya bahwa menikah itu tidak semudah yang anak semata wayangnya inginkan.

Waktu cepat sekali berjalannya, Sopiyan yang selalu membantu simboknya untuk mencari nafkah tak kenal lelah dalam berjuang untuk mencari seorang wanita pula. Karena dibenaknya hanya terlintas sebuah bayangan bahwa menikah itu adalah kenikmatan dan kebahagian dunia yang tiada duanya.

Hari-hari Simbok terus menasihati Sopiyan dengan bijak. Selain kata-katanya yang lembut Simbok juga tergolong orang yang sangat tegas. Pada saat Simbok memilah-milah bawang untuk dijadikannya bahan masakan, Sopiyan datang langsung duduk bersimpuh di samping Simbok. Seperti biasa ia dengan memamerkan wajah melasnya, memohon sesuatu pada simbok tercintanya itu, apalagi kalu bukan masalah nikah. Hampir setiap hari ia berbincang bersama Simbok membahas tentang pernikahan.

Teriknya mentari terasa menyengat di atas kepala. Mengingat bahwa hari ini adalah hari selasa, Sopiyan melakukan rutinitasnya yaitu menjadi kuli bangunan. Setiap hari selasa, rabu, kamis, dan jum’at Sopiyan siap sedia apabila ada panggilan dari tetangga sebelah untuk menjadi kuli bangunan karena setiap senin, sabtu dan minggu ia pergunakan untuk membantu Simbok berdagang panganan di rumah. Saat itu Sopiyan hendak pergi ke rumah bu Ijem tetangga sebelah. Pada saat di perjalanan ia terpana oleh sosok wanita yang sangat menawan, wanita itu berhijab dengan memakai baju lengan panjang nan alim, sejuk bila dipandang oleh mata.
“Andai saja aku punya jodoh seperti dia,” khayalnya dengan mata berbinar.

Sopiyan masih tetap terpaku dengan sosok wanita yang berjalan melewatinya tadi, yang sekarang hanya terlihat punggung dengan bagian belakang hijab yang tersibak karena hembusan angin.

Sepulang dari bekerja, Sopiyan disambut oleh Simbok dengan segelas air putih. Ingin rasanya Sopiyan mengutarakan isi hatinya kepada Simbok. Tetapi ia masih ragu karena ia belum tahu tentang seluk beluk wanita muslimah yang berpapasan denganya tadi.

“Ada apa toh le? kok wajahnya bingung begitu?” tanya Simbok sembari menuangkan segelas air minum dari ceret alumunium.
“Ndak apa-apa kok mbok,” jawab Sopiyan dengan malas, karena lelah.
“Ayo, bilang saja sama Simbok. Ndak usah disembunyi-sembunyikan,” Tukas Simbok.

Sopiyan diam cukup lama sampai pada saat Simbok hendak melangkahkan kakinya ke dapur, Sopiyan lantas membuka pembicaraan.
“Simbok!” Sopiyan meraih tangan Simbok, kemudian Simbok duduk dan Sopiyan bersimpuh di samping Simbok dan masih memegangi tangan simboknya itu.
“Mbok, aku kan sudah besar toh mbok. Kalau ada perawan cobalah tanyakan mbok,” Katanya memohon kepada Simbok.
“le, nikah itu ndak gampang, harus bisa membimbing anak istri, harus bisa menafkahi mereka, menikah pun juga butuh biaya. Makanya le, bekerja dahulu. Cari uang untuk biaya menikah,” tutur Simbok memberi nasihat.

Sopiyan yang saat itu mendengar tuturan Simbok, ia bertekad untuk mencari pekerjaan tetap dan mendapatkan uang yang banyak untuk biaya pernikahannya kelak.

Hari berganti dan waktupun berlalu, sudah hampir satu bulan ini, Sopiyan bekerja menjadi kuli bangunan di kampung sebelah. Walaupun demikian ia tak pantang semangat untuk mencari pekerjaan yang layak. Sudah berbagai tempat ia kunjungi seperti kafe, dan pasar swalayan yang ada di tengah kota, tapi tak kunjung mendapat panggilan kerja.

Senin sore pada saat Sopiyan pergi ke sebuah taman peristirahatan, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang sedang duduk di bangku taman, wanita yang kemarin ia pandangi kini ia bertemu lagi dengannya. Wanita muslimah itu, sungguh elok bila dipandang oleh mata. Sopiyan terus termenung memandanginya.

Pada saat wanita itu berdiri hendak melangkahkan kakinya untuk pergi, tak sengaja dompetnya tertinggal di bangku. Sopiyan yang masih memandanginya langsung berlari mengambil dompet itu yang kemudian diberikannya kepada wanita muslimah itu.
“Mbak-mbak,” panggilnya pelan membelakangi sosok wanita itu. Wanita itu tak kunjung menoleh. Sopiyan sempat bingung harus memanggilnya apa, supaya wanita itu menoleh. Sedangkan punggung wanita itu terlihat semakin menjauh. Sopiyan berlari lagi sampai lebih dekat dengan punggung wanita tersebut lalu memanggilnya kembali
“Mbak, mbak, mbak kerudung biru!” panggilnya meninggikan suaranya sedikit. Kemudian wanita itu menoleh.
“Ternyata memang benar, sungguh molek wanita ini,” gumamnya dalam hati.
“Iya mas?” sapa wanita itu dengan senyuman yang ramah.
“Ini mbak, dompetnya ketinggalan,” kata Sopiyan sambil menyodorkan dompet wanita berwarna hitam itu kepada wanita tersebut.
“Oh, masyaAllah. Terima kasih mas,” balasnya sembari mengambil dompet tersebut.
Sopiyan yang saat itu terpaku mendengar suara lembut wanita tersebut, tangannya bergetar memberikan dompetnya, hati pun menjadi dag dig dug seperti dentuman bedug yang dipukul ketika masuk waktu adzan.
“Ehh… iya, sama-sama,” jawab Sopiyan wajah yang sudah memerah bagai buah delima.

Malam itu, Sopiyan tidak bisa tidur. Ia bersingkur ke kanan dan ke kiri memeluk guling, tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Di benaknya terus terlintas senyuman dan suara wanita muslimah itu. Semakin lama rindunya kepada wanita itu semakin tak terbendung.

Keesokan harinya, Sopiyan bangun dengan wajah yang sangat kusut. ia tak bisa tidur semalaman hanya karena wanita yang ia jumpai yang belum jelas seluk beluknya. Tapi tetap saja ia yakini bahwa wanita itu belum ada yang punya. Semakin hari ia mencoba untuk melupakan wanita muslimah itu, tetapi semakin dilupakan semakin terbayang pula wajahnya di benak Sopiyan. Karena tak tahan dengan perasaannya, Sopiyan meluapkan semua perasaanya kepada Simbok.

“Kenapa wajahmu kusut begitu le? masih pagi lo ini,” tutur Simbok yang saat itu masih memegang tempeh berisi bawang merah dan putih untuk dipilah.
“Aduh Simbok, aku tidak bisa tidur semalaman,” keluh Sopiyan.
“Kenapa toh le?” tanya Simbok dengan prihatin melihat wajah kusut Sopiyan.
“Aku ini sudah mabuk wanita mbok, siang malam ingin ketemu sama dia,” keluh Sopiyan semakin kesal dengan perasaannya.
“Le, dengarkan Simbok. Tidak mudah orang kalau sudah berumah tangga. Orang yang sudah berumah tangga harus siap mencarikan nafkah untuk sandang dan pangan anak istri. Kalau kamu hanya menuruti perasaan mabuk kepayangmu itu, ya apa istrimu kamu beri makan batu?” tutur Simbok tegas kepada Sopiyan yang memperhatikan nasihat Simbok dengan seksama.
“Iya mbok, kalau begitu aku akan rajin bekerja, cari kerjaan yang layak dulu supaya dapat uang banyak untuk menikah,” jawab Sopiyan meyakinkan Simbok terutama dirinya sendiri.
“Iya le, bagus itu. Simbok ini selalu berdo’a pada Gusti supaya keinginanmu akan terlaksana. Supaya kamu bisa menikah dan mengayomi istrimu le,” tutuk Simbok kembali kepada Sopiyan.

Mendengar nasihat dari Simbok, Sopiyan akhirnya menyadari bahwa menikah itu tidak hanya sekedar mencari istri dan mendapatkan kesenangan bukan pula karena keinginan meniru orang lain. Karena menikah itu sesungguhnya hanya senang pada saat duduk di atas pelaminan dan sisanya adalah tanggung jawab besar yang akan dipikul bersama-sama antara dua orang yang sudah berumah tangga.

Cerpen Karangan: Diana Fitri Wulandari
Blog / Facebook: diana dhind


Cerpen Nikah merupakan cerita pendek karangan Diana Fitri Wulandari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.


“Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!”



Share ke Facebook

Google+

” Baca Juga Cerpen Lainnya! “


Oleh: Indri Triyas Merliana

Minggu, 25 Agustus 2013 “iya aku berangkat, tunggu sebentar” Hari ini aku tidak mengikuti acara di sekolah karena jarak rumahku dengan sekolah sangat jauh. Tetapi aku masih mengikuti acara



Oleh: Silvi Senia M

“Derika?” Tanya Anfa hati-hati. “Sebentar ya.” Aku pun berdiri dari kursiku dan mengahmpiri Sandi. “Sandi.” Panggilku dengan suara serak, orang yang dipanggil pun menoleh dengan kaget. “Derika.” “Sandi mereka



Oleh: Dinz Ravenzo

Hujan….. adalah satu satunya hal yang membuat diri saya dapat merasa relaks dan tenang entah kenapa setiap kali awan mendung menyelimuti bumi yang diiringi dengan angin dingin yang berhembus,



Oleh: Risa Alfiana

Hari demi hari terus berlalu yang kian hari semakin menyiksa batinku tersadar aku tentang buaian dunia yang telah membuatku larut dalam khayal cinta. Cinta telah membuatku terluka telah mengusik



Oleh: Novia Fernanda

“Fan mau nyanyiin lagu apa?” Tanyaku menatap refan. “Terserah kamu aja” “Jamrud judulnya pelangi di matamu, gimana?” Tanyaku lagi. “Boleh, kebetulan aku juga hafal kunci gitarnya” balasnya balik menatapku.


8 tahun cerpenmu



“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
“Kalau iya… jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?”






Source link

Komunitas Penulis Cerpen Indonesia, Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa

Leave a Reply