Fakta dan Sejarah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa (Bagian 1)

Fakta dan Sejarah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa (Bagian 1)


Perbudakan%2BManusia%2Bdari%2BMasa%2Bke%2BMasa

Naviri Magazine – Salah satu sisi gelap sejarah umat manusia adalah perbudakan. Di masa lalu, budak diperoleh sebagai hasil rampasan perang. Jika Suku A berperang dengan Suku B, atau Kerajaan A berperang dengan Kerajaan B, maka pihak yang kalah akan dijadikan budak oleh pihak yang menang. Si pemilik budak bebas memperlakukan budaknya sesuai keinginan, termasuk menjualnya kepada pihak lain.

Read More

Sejarah kelam semacam itu berlangsung lama, dari zaman ke zaman, bahkan ketika manusia mulai mengenal sistem negara-bangsa. Amerika, negara terbesar di dunia, pun tidak lepas dari sejarah perbudakan yang pernah menjadi bagian jejak masa lalu mereka. 

Whitney Plantation yang berlokasi di Wallace, Lousiana, AS, adalah saksi bisu perbudakan yang terjadi di Amerika Serikat. Perkebunan tebu yang juga dilengkapi dengan pabrik gula, dan sudah ada sebelum Perang Sipil di Amerika Serikat itu, adalah jejak kekejaman perbudakan yang terjadi di AS kala itu. Awalnya, Whitney Plantation diberi nama Habitation Haydel. 

Memasuki dekade 1800an, Jean Jacques yang merupakan anak dari Heidel, mengubah Habitation Haydel dari yang awalnya dipenuhi tanaman indigofera menjadi perkebunan tebu yang dilengkapi pabrik gula. Perkebunan itu tentu tak mampu diolah sendiri oleh Jean dan keluarganya. 

Mereka membeli budak asal Afrika yang saat itu marak diperdagangkan. Jumlah budak yang bekerja di perkebunan itu mencapai 350 orang, dan jumlah itu terbesar dibandingkan perkebunan lainnya di AS pada saat itu. 

Namun, perkebunan itu sering berganti pemilik. Nama perkebunan berganti menjadi Whitney Plantation saat berada di tangan Bradish Johnson pada 1867. Akhirnya, di tahun 1999, perkebunan itu jatuh ke tangan keluarga Cummings. Di tangan Cummings inilah, tempat tersebut diubah menjadi sebuah museum bertemakan perbudakan.

Cummings bahkan menggelontorkan dana pribadinya yang mencapai $8 juta untuk menjadikan museum tersebut sebagai museum perbudakan pertama di AS. Cummings mengamati dari 35 ribu museum tentang berbagai tradisi hingga momen penting bangsa Amerika Serikat, tak ada satu pun yang mengangkat tema perbudakan. Padahal, perbudakan adalah bagian dari sejarah Amerika Serikat.

“Saya memberitahukan kepada orang-orang saat mereka berkata, ‘Mengapa orang kulit putih terlibat dalam hal ini [pembangunan museum perbudakan]?’ saya berkata, ‘tidakkah Anda ingat bahwa orang kulit putihlah yang menyebabkan semua ini?’” ujar Cummings, seperti dikutip CBS News. 

Kisah para budak di perkebunan itu dikemas dengan rapih disertai dengan berbagai patung untuk memvisualisasi bagaimana para budak diperlakukan pada masa itu. Mereka yang bekerja di perkebunan memang tak luput dari berbagai tindakan kekerasan, dan diperlakukan secara semena-mena sejak masa Jean Jacques. 

Mereka harus menghadapi berbagai penganiayaan setiap hari saat bekerja di perkebunan tersebut. Anak-anak para budak pun ikut menderita. Sebab, pada umumnya, budak di Amerika diberlakukan hukum perbudakan herediter. Seorang anak yang lahir dari rahim seorang budak akan mewarisi status budak, dan menggantikan kedua orangtuanya kelak sebagai seorang budak. 

Perbudakan sesungguhnya tak hanya terjadi di Amerika Serikat, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia melakukan praktik perbudakan. Di Eropa, pada abad ke-14, Portugis mendatangkan ratusan budak yang berasal dari Afrika untuk bekerja sebagai pembantu atau bekerja di perkebunan di wilayah Spanyol, Portugal dan Italia.

Ada dua rute yang paling terkenal di masa perbudakan, yaitu Trans Atlantic dan Trans Saharan. Trans Atlantic Slave Trade merupakan rute perdagangan budak dari Afrika ke Amerika Serikat dan Eropa. Praktik ini berlangsung sejak abad ke-14. Trans Saharan Slave Trade adalah rute perdagangan budak dari Afrika ke negara-negara Arab yang sudah dimulai sejak tahun 700an. 

Saat itu, perbudakan tidak dipandang sebagai suatu tindakan kejahatan, tetapi bagian dari tatanan sosial. Memiliki budak adalah hal yang cukup bergengsi kala itu, sehingga permintaan akan budak pun terus meningkat. 

Seiring berjalannya waktu, berbagai negara di dunia mulai menghapus sistem perbudakan. Di bawah lembaga PBB, negara-negara juga mulai meratifikasi Konvensi Perbudakan 1926 sebagai salah satu komitmen melawan tindakan perbudakan, dan menghapusnya dalam tatanan kehidupan sosial. Kini, setiap orang berhak atas dirinya sendiri, dan punya hak asasi yang harus dihormati orang lain dan dilindungi hukum internasional. 

Baca lanjutannya: Fakta dan Sejarah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa (Bagian 2)



Source link : Naviri.org

Majalah online. Menyajikan berita dan artikel seputar pengetahuan umum, gaya hidup, entertainment, dan teknologi.