Ketua MPR Ajak Dunia Bersatu Hadapi Perubahan Iklim

Ketua MPR Ajak Dunia Bersatu Hadapi Perubahan Iklim


INFO NASIONAL – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi kerja keras DPR RI dibawah kepemimpinan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menjadikan momen Indonesia sebagai tuan rumah 144th Inter-Parliamentary Union (IPU) sebagai momentum menyuarakan pentingnya parlemen negara-negara dunia melakukan tindakan nyata menghadapi perubahan iklim. Sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo saat membuka IPU, pembicaraan mengenai perubahan iklim sering dibahas di tataran global, namun belum ada aksi nyata yang terlihat di lapangan.

Read More

Presiden Joko Widodo menegaskan, untuk menghadapi perubahan iklim, dunia harus bersatu. Negara-negara maju harus berani bergerak menanamkan investasi di berbagai negara berkembang yang memiliki potensi energi baru terbarukan (BT). Untuk itu butuh dorongan parlemen dari berbagai negara yang tergabung dalam IPU untuk menggerakan pemerintahan di masing-masing negaranya melakukan aksi nyata memperbesar investasi di sektor EBT.

Presiden Jokowi bahkan mengingatkan, dunia menghadapi sebuah hal yang mengerikan jika tidak berani memobilisasi berbagai kebijakan dalam menghadapi perubahan iklim, baik di tingkat parlemen maupun di pemerintah. Indonesia sangat serius menghadapi perubahan iklim, khususnya dalam mengembangkan potensi EBT.

Salah satunya ditunjukan oleh Presiden Jokowi dan juga parlemen Indonesia dalam menggalakan berbagai potensi energi baru terbarukan di Indonesia yang sangat melimpah, mencapai 418 GigaWatt (GW). Antara lain bersumber dari Matahari/Surya yang bisa mencapai 207,8 GW, sumber tenaga air mencapai 75 GW,  sumber tenaga angin mencapai 60,6 GW, Bioenergi mencapai 32,6 GW, Panas Bumi mencapai 23,9 GW, dan Arus Laut mencapai 17,9 GW,” ujar Bamsoet di Bali, Minggu malam 20 Maret 2022.

Ketua DPR RI ke-20 inimenjelaskan, salah satu contoh konkrit pemerintah menghadapi perubahan iklim terlihat dari dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Ini upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) di 2060 atau lebih awal, maupun Nationally Determined Contribution (NDC) berupa penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Keberadaan Perpres tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penggerak dunia yang melakukan penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprediksi potensi perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 350 triliun.  Besarnya potensi ekonomi tersebut tidak lepas karena Indonesia mampu menyerap sekitar 113,18 gigaton karbon. Diperoleh dari luasnya hutan hujan tropis seluas 125,9 juta hektare, terbesar ketiga dunia yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.

“Luas hutan mangrove mencapai 3,31 juta ha yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per haatau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove. Serta lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta ha yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton,” kata Bamsoet yang mantan Ketua Komisi III DPR RI ini.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, dengan dukungan parlemen Indonesia, Presiden Joko Widodo juga sudah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 (Indonesia Green Taxonomy 1.0) yang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau.

Dari kajian Bank Indonesia berdasarkan penghitungan menggunakan metode Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (Compound Annual Growth Rate/CAGR), Indonesia bisa mendapatkan banyak manfaat jika transisi Ekonomi Hijau serta sistem keuangan berkelanjutan bisa segera diterapkan. Antara lain, kenaikan produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun. Hingga tambahan kenaikan cadangan devisa mencapai 51,9 miliar dolar AS.

“Namun tantangan yang dihadapi Indonesia dalam transisi menuju Ekonomi Hijau juga sangat besar. Antara lain dana yang tidak sedikit dan proyek berkelanjutan yang masih terbatas,” ujar Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, HAM, dan Keamanan ini.

Dari kajian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indonesia membutuhkan Rp 745 triliun per tahun hingga 2030. Karenanya butuh dukungan dari berbagai negara maju lainnya untuk melakukan investasi besar-besaran di sektor Ekonomi Hijau Indonesia. (*)





Source link