Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen menyebut hanya setengah dari populasi perempuan Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja. Angka tersebut lebih rendah dari rata-rata tingkat partisipasi perempuan di angkatan kerja di Asia Pasifik yang mencapai 60 persen.
Sementara, angka partisipasi gender laki-laki di Indonesia jauh lebih tinggi karena mencapai 80 persen.
“Jika dibandingkan dengan negara seregional, lebih kecil kemungkinan perempuan Indonesia berpartisipasi dalam angkatan kerja. Di Indonesia hanya setengah dari populasi perempuan ada di angkatan kerja,” jelas dia pada Acara Women in Leadership, Senin (7/3).
Sejalan dengan itu, ia menyebut posisi pemimpin yang diisi perempuan pun masih minim. Bank Dunia mencatat hanya 23 persen saja posisi senior atau pimpinan yang diisi oleh perempuan dan hanya 6 persen saja perempuan yang diangkat menjadi CEO atau jajaran direksi perusahaan.
“Ini masih sangat disayangkan, karena studi menunjukkan memiliki porsi perempuan yang seimbang akan berdampak positif untuk sosial ekonomi,” jelas dia.
Mengamini Satu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak memiliki kesempatan bersaing yang setara (level playing field), terutama jika pekerja perempuan sudah menikah dan memiliki anak.
Ia menjelaskan di kementeriannya jumlah staf perempuan dan laki-laki setara. Namun staf perempuan terus berkurang semakin tinggi level jabatan. Ia menilai hal ini dikarenakan perempuan dihadapkan dengan pilihan yang tak dimiliki laki-laki, seperti memilih antara melanjutkan studi atau membesarkan anak.
“Sehingga kalau saya tanya Kemenkeu eselonnya hanya 16 persen-17 persen itu sudah termasuk staf khusus. Kalau eselon 1 saja saya cuma punya dua. Ini menggambarkan merit sistem adil tapi perempuan dibebani yang tidak sama,” jelas dia.
[Gambas:Video CNN]
Ani, akrab sapaannya, menambahkan bahwa jika dunia kerja lebih inklusif terhadap perempuan, secara ekonomi dunia juga akan lebih diuntungkan. Mengutip riset McKinsey, kesempatan yang setara untuk perempuan dapat memberi nilai tambah hingga US$12 triliun pada 2025.
Melihat itu, ia menilai nilai tambah memberdayakan perempuan sebetulnya bisa dihitung. Oleh karena itu, ia mengklaim APBN didesain dengan memerhatikan kebutuhan perempuan, salah satunya lewat pendidikan.
Menurut Ani, dalam suatu keluarga miskin yang harus memilih untuk menyekolahkan anak perempuan dan laki-laki, secara rata-rata lebih banyak anak perempuan yang dikorbankan dan putus sekolah. Untuk menghindari itu, APBN harus memberikan akses sekolah gratis kepada kedua gender agar situasi tersebut tak terjadi dan memutus hak pendidikan anak perempuan.
“Ada keluarga yang kecukupan ekonominya terbatas, sering keluarga itu harus memutuskan siapa yang harus sekolah kalau pendapatannya sangat terbatas. Nah biasanya yang didahulukan anak laki-laki, supaya tidak terjadi diskriminasi maka negara harus hadir,” pungkasnya.
(wel/agt)